Nama aslinya adalah Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab¹ (Kitab al-Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir), seorang cucu sekaligus ibu dari dua sosok Khalifah besar yang masing-masing dikagumi sejarah hingga hari ini dengan karakter keadilannya. Cucu dari Umar bin Khattab, serta ibu dari Umar bin Abdul Aziz.
Kita semua tidak asing dengan nama Umar bin Khattab sebagaimana kita juga sangat akrab dengan nama Umar bin Abdul Aziz. Dua Khalifah besar yang telah menghiasi dunia dengan sikap zuhud dan wara'nya, serta memenuhi setiap penjuru bumi dengan keadilannya. Setiap kali sejarah hidup mereka dibaca maka akan menambah kuatnya rasa takwa dalam jiwa. Setiap kali kisah mereka dikaji akan mengokohkan semangat Islam dalam hati.
Nama besar yang tersemat pada diri seorang Umar bin Abdul Aziz, Khalifah hebat yang kata Imam Syafi'i rahimahullah masuk dalam daftar nama Khulafaur Rasyidin yang kelima setelah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum ajma'in ini mungkin saja tidak bisa kita lepaskan dari perjuangan sang ibu yang setia menemaninya dalam suka dan duka. Ummu Ashim adalah sosok ibu yang simpatik kepada apa-apa yang dirasakan oleh anaknya, sekalipun dalam suatu hal yang kelihatannya sepele bagi sebagian orang.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz kecil sedang menangis. Lantas ibundanya datang menghampirinya dan menyapanya dengan hati, "Apa yang membuatmu menangis wahai anakku?"
"Aku teringat kematian," jawabnya. Sejenak dirinya terdiam lantas melanjutkan, "Dan pada hari itu al-Qur'an telah dikumpulkan."
Seketika itu juga ibunya ikut menangis mendengar perkataan puteranya tersayang.
Petikkan kisah di atas barangkali sangat sederhana sekali, tapi cerita itu sebenarnya hebat dan jarang kita dapati dalam kehidupan hari ini. Jarang ada anak kecil yang berani mengajak larut ibunya untuk merenungi kematian, hingga akhirnya keduanya meneteskan air mata takwa, jika kondisi di dalam rumah serta keadaan orang tua yang tidak mendukung.
Dari rahim seorang ibu yang mau menghargai tangisan takwa buah hatinya itulah tumbuh seorang pemimpin dan pembaharu ummat yang tidak hanya cerdas, tapi juga adil, wara', zuhud dan takwa. Dialah yang pada hari ini dikenal dengan sebutan Khalifah kelima dari Khulafaur Rasyidin, Umar bin Abdul Aziz.

Proses Kebesaran Umar bin Abdul Aziz
Kebesaran nama Umar bin Abdul Aziz adalah dengan proses, bukan warisan dari para keluarganya. Memang kakeknya, Umar bin Khattab, adalah orang besar. Demikian juga orang-orang yang ada di dekelilingnya dalam lingkungan istana Dinasti Umayyah. Beberapa saudara sepupunya dari pihak ayah dan juga paman serta kakeknya adalah orang-orang nomor wahid di masa itu. Namun perlu kita ketahui juga, bahwa bapaknya, Abdul Aziz, tidak menjabat sebagai khalifah, meskipun ia adalah seorang putra mahkota.
Hidup di tengah-tengah orang besar bukan berarti bisa mendapatkan kebesaran serupa. Buktinya adalah betapa banyak orang-orang besar yang anak-anak mereka justru kerdil, bahkan sebagian bertolak belakang jauh dengan orang tuanya. Memang ada sebagian orang yang mewarisi kedudukan pendahulunya. Tapi mereka tidak mampu mengikuti jejak kebesaran orang tuanya. Contohnya adalah beberapa khalifah Dinasti Umayyah I dan II, maupun Dinasti Abbasiyah. Banyak diantara mereka yang mewarisi kedudukan orang tuanya tapi tidak mewarisi kebesarannya.
Lain halnya dengan Umar bin Abdul Aziz, sejak kecil ia memang memiliki semangat yang tinggi dan jiwa yang besar. Hal itu pernah disampaikannya kepada Muzahim.
Suatu saat Muzahim berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, "Sesungguhnya aku melihat kekurangan ada dalam keluargamu."
"Wahai Muzahim, apa ini semua belum cukup bagi mereka? Aku telah memberikan bagian kepada mereka dengan benar dari harta rampasan perang pasukan Islam maupun dari jatah hartaku." jawab Umar bin Abdul Aziz.
"Lalu dimana itu semua? Tidak terlihat dari perbekalan, jamuan dan pakaian yang mereka berikan kepada istri-istri mereka. Demi Allah! Aku takut mereka akan tertimpa kelaparan!"
"Sesungguhnya aku memiliki jiwa yang penuh obsesi," kenang Umar bin Abdul Aziz. "Dulu kamu pernah melihatku bermain-main dengan anak-anak kecil di Madinah. Lalu aku terobsesi dengan ilmu, bahasa dan sya'ir. Dan keinginanku itu pun tercapai. Namun aku masih merasa kurang. Kemudian jiwaku terobsesi dengan kekuasaan. Hingga akhirnya aku dipilih menjadi gubernur di Madinah. Lalu jiwaku terobsesi dengan kemegahan dalam pakaian, kehidupan dan perilaku baik ketika aku masih memegang kekuasaan. Dan aku belum pernah mengetahui salah seorangpun dari anggota keluargaku maupun yang lainnya mendapatkan seperti apa yang aku dapatkan. Kemudian jiwaku terobsesi dengan kampung akhirat dan keadilan. Dan aku berharap agar jiwaku tidak terobsesi selain dari akhiratku. Karena aku tak ingin menjadi seperti orang yang merusak akhiratnya dengan dunianya."

Perhatian yang Besar dari Sang Ayah
Abdul Aziz bin Marwan mengirim puteranya ke kota Madinah untuk belajar ilmu. Ia menyerahkan puteranya kepada Shalih bin Kisan agar mengawasi Umar bin Abdul Aziz selama belajar di Madinah. Di sana ia menimba ilmu dari Ubaidillah bin Abdillah.
Shalih bin Kisan menaruh perhatian besar kepada Umar bin Abdul aziz, terlebih masalah kedisiplinan dalam shalat. Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz terlambat shalat jama'ah.
"Apa yang membuatmu terlambat?" tegur Shalih bin Kisan.
"Aku sibuk merapikan rambutku." jawab Umar bin Abdul Aziz.
"Segitu besarkan cintamu dalam menyisir rambut hingga menjadikanmu terlambat shalat berjamaah?!"
Shalih bin Kisan segera mengirim surat kepada ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, yang isinya mengabarkan hal tersebut. Abdul Aziz bin Marwan pun segera mengirim seorang utusan ke Madinah. Setiba di Madinah, tanpa banyak bicara utusan tersebut langsung mencukur rambut Umar bin Abdul Aziz.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

PageRank

Sample Widget